Buku ini lebih berhak menyandang judul "Confessions of an Advertising Man", daripada bukunya David Ogilvy. Ogilvy lebih banyak menulis seputar teknis membuat iklan, sementara Budiman Hakim bicara jujur soal kisah hidupnya yang penuh kesablengan. Benar kata Butet Kartaredjasa di Kata Pengantar, bila ada polisi yang ngebaca ini (terutama bab soal dia nyimeng), Budiman bisa ditangkep! Anyway, David Ogilvy udah duluan nulis bukunya, jadinya Budiman harus puas dengan "Sex After Dugem". Judul yang masih relevan dengan isinya yang menohok, jujur, ngga “pretentious” seperti tulisan gue ini :P.
Sex After Dugem emang menguji ke-jaim-an kita, bahkan sebelum memiliki bukunya. Paling nggak itu yang terjadi ama gue. Ceritanya, di Gramedia, gue udah ngubek2 di bagian Periklanan dan ga nemu2 itu buku. Padahal ada buku Budiman yang lain, “Ngobrolin Iklan Yuk” dan “Lanturan Tapi Relevan” di rak yang sama. Setelah mencari cukup lama akhirnya gue nyerah, dan nanya deh ama sang penjaga. Alamak, malunya bukan main mau nyebut judul buku Sex After Dugem itu. Begini kira2 dialognya:
Gue (G): Mas mas, ada bukunya Budiman Hakim yang baru ga?
(Gue mencoba sekuat tenaga ngga menyebut judul buku itu.)
Bagian informasi (BI): Judulnya apa?
G: (keparat! gue memaki dalam hati) Nggg....Sex After Dugem?
(Ahiahahaiaiahaia...kesebut juga)
BI: Oh, ada mas. Di bagian Sosial Budaya, satu lantai lagi di atas. Udah sedia kondom blom, mas? Jaman sekarang kudu ati2 lho, kalo mau nge-sex after dugem.
(Gue pun ngeloyor dengan muka tengsin. Oke oke, tulisan yang berwarna merah itu gue tambahin)
Sesuai dengan gayanya Budiman, let’s cut the crap. Apa sih relevansi buku Sex After Dugem yang berisi hal2 remeh temeh--seperti nyimeng ampe ga bisa berhenti ketawa, kebiasaan solat injury time, sex after dugem, ditaksir homo bule, Soeharto yang ikut kuis Deal or No Deal dengan malaikat, dsb--dengan dunia iklan? Nggak ada hubungan langsung, karena ga ada teori-teori iklan mutakhir dalam buku ini. Dengan kesederhanaan dan keremeh-temehannya, Budiman mencoba membuka mata kita untuk menjadikan kehidupan sebagai sumber inspirasi yang bisa digunakan untuk membuat iklan. Kekuatan iklan yang insightful bukan dari kosmetik alias gimmick, tapi dari kesederhanaan dan kejujurannya. Begitu kira2 yang ingin disampaikan Budiman, senada dengan perkataan Bill Bernbach, “I’ve got a great gimmick. Let’s tell the truth".
Lantas, apa kita perlu sekonyol dan sebengal Budiman Hakim untuk menjadi Kreatif yang baik? Ya nggak lah. Ambil spiritnya aja dan juga cimengnya…asssoy…Sesuai dengan gayanya Budiman, let’s cut the crap. Apa sih relevansi buku Sex After Dugem yang berisi hal2 remeh temeh--seperti nyimeng ampe ga bisa berhenti ketawa, kebiasaan solat injury time, sex after dugem, ditaksir homo bule, Soeharto yang ikut kuis Deal or No Deal dengan malaikat, dsb--dengan dunia iklan? Nggak ada hubungan langsung, karena ga ada teori-teori iklan mutakhir dalam buku ini. Dengan kesederhanaan dan keremeh-temehannya, Budiman mencoba membuka mata kita untuk menjadikan kehidupan sebagai sumber inspirasi yang bisa digunakan untuk membuat iklan. Kekuatan iklan yang insightful bukan dari kosmetik alias gimmick, tapi dari kesederhanaan dan kejujurannya. Begitu kira2 yang ingin disampaikan Budiman, senada dengan perkataan Bill Bernbach, “I’ve got a great gimmick. Let’s tell the truth".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar