Senin, November 20, 2017

Sprint: Buku Wajib untuk Bisnis Jaman Now

Sprint, buku yang ditulis oleh Jake Knapp dibantu John Zeratsky dan Braden Kowitz ini punya sub-judul: “Pecahkan Masalah-masalah Besar dan Uji Ide-Ide Baru hanya dalam 5 hari”. Biasanya gue merasa skeptis terhadap buku-buku dengan judul bombastis seperti ini, tapi fakta bahwa Sprint menjadi New York dan Wall Street Journal best seller, ditambah berbagai review yang positif, membuat gue memutuskan untuk memberi buku ini kesempatan sambil mencari tahu apakah isinya seheboh judulnya.

Sprint bisa dikategorikan sebagai buku tentang pengembangan diri, terutama tentang produktivitas. Yang membedakannya dari buku-buku sejenis, metode yang ada dalam Sprint terutama didesain untuk meningkatkan produktivitas secara kolektif dalam waktu yang relatif singkat. Metode Sprint merupakan antitesis dari pemborosan waktu dari rapat-rapat tanpa akhir yang menghasilkan ide-ide yang ternyata biasa-biasa saja, atau lebih parah lagi, tanpa keputusan. Selain itu Sprint juga menghindari “penyembahan” sebuah ide. Ya, kadang kita merasa sebuah ide begitu spektakuler sehingga anti terhadap berbagai kritik. Dalam Sprint kita harus rela sebuah ide —yang kemudian dibuat prototype-nya—untuk diuji di dunia nyata. (Ini juga mementahkan sikap sinis sebagian orang ahensi terhadap riset, ehm, termasuk gue.)

Jake Knapp dan rekan bekerja di GV (Google Ventures), sebuah anak perusahaan Google yang selain berinvestasi di berbagai perusahaan start-up, juga “mengasuhnya”. Mereka berusaha sebaik mungkin agar perusahaan-perusahaan tersebut menjadi lebih maju dan menguntungkan. Konon Sprint telah dicoba pada lebih dari 100 perusahaan start-up di GV. Beberapa di antaranya menjadi studi kasus di dalam buku ini, seperti Savioke, perusahaan yang membuat robot untuk dioperasikan di hotel-hotel; Blue Bottle Coffee, yang menjual kopi secara online; dan Flatiron Health, yang merusaha merapikan sistem pendaftaran pasien kanker di rumah sakit.

Cara bertutur Jake Knapp yang ringan membuat buku ini enak dibaca dan pembagian bab berdasarkan hari-hari pelaksanaan Sprint (Senin sampai Jumat) cukup mempermudah pemahaman. Sprint pun mempunyai website yang memuat berbagai resource tambahan. Kualitas terjemahan dari penerbit Bentang juga sangat baik, hanya saja kita harus membiasakan diri dengan penggunaan berbagai padanan istilah dari bahasa Inggris yang mungkin masih terdengar janggal. Seperti halnya istilah "daring" (dalam jaringan) sebagai padanan kata online, "salindia" untuk kata slide, "laman" untuk homepage, dan lain-lain.

Jadi apakah sesuai janjinya, metode Sprint bisa memecahkan berbagai masalah besar hanya dalam 5 hari? Dengan penuh kepedean, gue jawab iya. Yang menonjol dari metode Sprint—selain pembatasan waktu 5 hari, adalah sistem pengambilan keputusannya. Jake nggak percaya dengan metode brainstorming dimana sering kali ide yang dipakai adalah ide yang dipresentasikan dengan baik, bukan berdasarkan kualitas ide itu sendiri. Pasti kita familier dengan kisah (sudah juga dibuat iklannya) ide yang sebenarnya sama, tapi tanggapannya bisa berbeda saat ide itu dipresentasikan orang lain yang lebih berwibawa/ berkarisma. Melalui metode Sprint, setiap ide akan tampil apa adanya. Pengambilan keputusan pun nggak berlarut-larut, karena adanya sistem voting dan pemberian hak lebih kepada seorang atau dua orang pengambil keputusan. Bisa dikatakan Sprint ini lebih dekat kepada “demokrasi terpimipin”, bukan demokrasi liberal. Proses pengambilan keputusan yang lugas ini menjamin metode Sprint bisa memberi solusi dalam jadwal yang ketat.

Tapi bagaimana dengan kualitas ide-ide yang dihasilkan dalam Sprint? Dengan menyesal harus gue bilang kalo buku ini nggak menjamin ide-ide yang dihasilkan menjadi brilian. Kadang kala, sebuah ide brilian terlahir melalui proses inkubasi yang cukup. Waktu inkubasi ini yang menurut gue nggak diakomodasi oleh Sprint karena cuma menyediakan waktu seharian saja (hari Selasa), walau telah dirangsang melalui perumusan masalah di hari Senin pencarian referensi di Selasa pagi. Memang, apabila proses pencarian ide dibuat berhari-hari, akan ada resiko menjadi berlarut-larut, procrastinating, dan akhirnya kehilangan momentum karena merasa belum juga menemukan “wangsit”.

Kesimpulan
Buat yang terbiasa melakukan pemecahan masalah bisnis dalam kerja tim, pasti tahulah betapa ribetnya proses tersebut. Metode yang ditawarkan Sprint bisa mengurai kekusutan itu, membuat proses pencarian ide menjadi lebih mekanis dan terstruktur. Ide yang kemudian dibuat prototype-nya tersebut pun bisa langsung diuji ke khayalak umum, meminimalkan subjektivitas.

Mengenai kualitas ide, memang relatif. Tapi demi kemajuan bisnis, tentu lebih baik maju dengan ide yang cukup baik daripada menunggu ide brilian yang tak kunjung datang. Kalaupun kita ingin menindaklanjuti ide yang muncul belakangan, pembuatan prototype dan pengujian bisa dilakukan pada sesi Sprint tambahan.


Bagian paling berat dari Sprint adalah kewajiban untuk meluangkan waktu selama 5 hari. Apabila kita bisa menyediakannya—yang merupakan sebuah kemewahan dalam sebuah perusahaan yang sibuk—kita akan mendapat manfaat yang luar biasa dari Sprint. Walau Sprint diklaim bisa diterapkan di perusahaan apa saja—bahkan untuk perorangan, tapi sepertinya memang lebih tepat untuk bisnis start-up kekinian, yang selalu mencari terobosan dan waktu serta birokrasinya lebih lentur. 

Tidak ada komentar: