Kedatangan Guns N’ Roses (GNR) kedua kalinya di Jakarta tanggal 8 November 2018 dibarengi ekspektasi yang cukup tinggi. Tentunya, karena kali ini formasi GNR yang terdiri atas Axl Rose, Slash, Duff, Dizzy Reed, Richard Fortus, Frank Ferrer dan Melissa Reese bisa dibilang lebih otentik dibanding saat mereka datang pada tahun 2012 (pernah gue ulas di sini). Saat itu cuma Axl yang mewakili formasi awal GNR. Anggota lain yang lumayan lama adalah Dizzy Reed, sementara sisanya rangorang baru. Pertanyaan yang ada di benak fans GNR adalah kenapa Matt Sorum gak disertakan, padahal dia satu band dengan Slash dan Duff di Velvet Revolver? Anyway, kehadiran Axl, Slash dan Duff udah cukup membuat euforia.
Jauh-jauh hari, tepatnya di bulan Juni, udah digelar pre-sale tiket konser yang diberi judul “Not In This Lifetime” ini. Harganya mayan bikin mikir, terutama kelas Festival A yang menembus angka sejutaan. Menilik isi dompet, gue pun kudu puas dengan memesan tiket kelas Festival B yang dihargai Rp700.000an (jadi Rp800.000an setelah pajak). Empat hari sebelum acara, barulah kita bisa menukar undangan dengan wristband yang berlaku sebagai tiket masuk.
Venue “GNR - Not In This Lifetime” adalah di GBK dan GNR merupakan band pertama yang menjajalnya setelah stadion tersebut direnovasi untuk Asian Games. Selain Kehadiran Axl, Slash, Duff, venue GBK memang menjadi daya tarik utama dari konser mark II GNR ini. Dah ehm, plus karena konsernya digelar di bulan November jadi cocok dengan lagu “November Rain”. Hanya saja semua pada ngarep nggak hujan beneran, tentunya.
Konsernya
Dulu saat masih “brengsek”, GNR terkenal dengan reputasinya yang suka molor saat menggelar konser. Tapi mereka udah berubah. Gue menjadi saksi saat konser mereka yang pertama di MEIS, Ancol berlangsung tepat waktu. Jadi ketika diberitahu konser dimulai pukul delapan malam, gue pun udah stand by di venue sekitar pukul tujuh.
Tak lama setelah gue sampai di lokasi, layar raksasa di panggung menayangkan video animasi bernuansa akhir jaman, tepatnya zombie-zombian. Lagu-lagu rock klasik, salah satunya “Anarchy in UK” menjadi latar video tersebut. Waktu menunjukkan pukul delapan saat para penonton kayaknya mulai bosan nonton film zombie gak jelas itu dan berteriak minta konser segera dimulai. Sepuluh menitan kemudian, tayangan animasi berhenti dan memperkenalkan GNR. Sesuai dengan contekan yang gue liat di setlist.fm, konser dibuka dengan lagu “It’s So Easy”. Okay, sepertinya setlist di Jakarta ini nggak akan jauh berbeda dengan di negara-negara sebelumnya.
Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan diambil dari album “Appetite for Destruction” dan “Use Your Illusion”. Mirip seperti saat konser mereka pertama kali, hanya saja lagu-lagu “Chinese Democracy”-nya lebih sedikit. Yang menarik adalah saat “Slither” (Veltvet Revolver) dan “Black Hole Sun” (Soundgarden) dibawakan. Sebuah gesture simpatik untuk memberi penghormatan kepada Scott Weiland dan Chris Cornell.
Bagaimana penampilan mereka? Mari kita mulai dengan Axl Rose. Amat disayangkan, sang perfeksionis ini sepertinya kurang memperhatikan teknik vokalnya. Gaya menyanyi “sengau” yang ia tampilkan saat konser sebelumnya dibawakan kembali namun kali ini dengan tingkat kesuksesan yang rendah. Sangat rendah. Terasa mengganggu terutama pada lagu “Coma”, “This I Love” dan “Wichita Line Man” (lagu cover Jimmy Webb). Sound yang timbul tenggelam—mungkin masalah teknis dengan mic wireless-nya—makin menambah cela. Beberapa penonton di dekat gue pun tanpa rasa kasihan menyoraki penampilan Axl. Yep, separah itu. Namun kalo soal gaya jangan ditanya. Dia masih pede lari-larian seperti jaman konser Use Your Illusion dulu, mungkin karena badannya udah nggak terlalu gendut lagi. Urusan kostum pun sangat ia perhatikan.
Slash yang saat konser disebut Axl sebagai “a quiet and shy young man” muncul sebagai penyelamat. Walau saat konser pertama kali ketiga gitaris: DJ Ashba, Bumblefoot, dan Richard Fortus bisa mengisi part gitar Slash dengan baik, sungguh berbeda rasanya saat Slash sendiri yang main. Setiap bagian solo ia sikat dengan baik, dan dengan gaya khasnya memakai topi tinggi dan berbagai gesturnya, membuat pengalaman menonton menjadi komplit. Inilah yang kurang dari konser GNR di Ancol. Quiet he maybe, but he’s a badass guitar player. And he kicked Axl’s bitchy lil’ ass that night :D
Duff McKagan, anggota GNR yang paling ngepunk ini selalu jadi favorit gue. Di usianya sekarang ini, dia terlihat menua dengan anggun. Badannya masih langsing sementara mukanya penuh keriput dan kalo gue perhatiin…kok jadi mirip David Bowie ya? Sayang sekali penampilannya yang enerjik malam itu—seperti Axl, dia lari-lari keliling panggung—nggak didukung sound yang memadai. Suara bassnya hilang di antara gemuruh musik. Namun waktu dia nyanyi lagu Misfits, “Attitude”, terdengar amat lantang membuat gue langsung pogo. Kalo dinilai dari artikulasinya, yes, he’s a better singer than Axl.
Richard Fortus, sebagai salah satu gitaris era “Chinese Democracy” emang dah keliatan jagonya. Keknya punya basic Blues yang kuat. Menarik saat ia jamming berdua dengan Slash. Penilaian gue tentang Frank Ferrer masih sama seperti review gue saat konser GNR di Ancol: bagus, tapi ya nothing special. Gue masih bingung kenapa doi yang dipilih dan bukannya Matt Sorum. Dizzy Reed ya mantep lah, jari-jemarinya masih lincah menari pada tiap tuts keyboard. Anggota GNR yang paling cantik, Melissa Reese, baru gue lihat nih. Dan terus terang gue nggak merhatiin permainan synth-nya, tapi lebih ke kostumnya yang kayak Vampirella.
Sempat gue mention soal sound system di atas. Yeah, gue pikir dengan set panggung yang semegah itu sound-nya pun akan megah. Ternyata nggak ya, sound-nya berantakan: vokal Axl timbul tenggelam, bass-nya Duff gak kedengeran, drum cuma kedengeran bass drumnya aja, dan sound gitar kayaknya bisa lebih keren.
Yang patut diacungi jempol adalah motion graphic/ video latarnya. Sepertinya dipikirkan dengan seksama sehingga memperkuat tiap lagu yang dimainkan. Seandainya saja sound system-nya secakep visualnya.
Pihak penyelenggara pun layak dapat apresiasi karena telah mengadakan konser ini dengan rapi, dari permasalahan tiket sampai pengaturan masuk dan keluarnya penonton. Om pawang ujannya juga hebat. Satu-satunya "November Rain" yang ada saat konser berlangsung adalah ya saat GNR bawain lagu itu. Hujan bulan November sesungguhnya baru turun saat konser usai.
Pihak penyelenggara pun layak dapat apresiasi karena telah mengadakan konser ini dengan rapi, dari permasalahan tiket sampai pengaturan masuk dan keluarnya penonton. Om pawang ujannya juga hebat. Satu-satunya "November Rain" yang ada saat konser berlangsung adalah ya saat GNR bawain lagu itu. Hujan bulan November sesungguhnya baru turun saat konser usai.
Kesimpulan
Walau ada kekurangan di sana-sini, tapi badan gue yang masih pegel-pegel akibat ajrut-ajrutan sepanjang konser adalah bukti bagaimana seorang fans GNR yang terpuaskan. Vokal Axl yang ble’ek dimaafkan oleh aksi panggungnya cukup atraktif. Begitu juga koor penonton sepanjang konser, meminimalkan efek falsnya vokal Axl.
Performa Axl saat ia datang pertama kali di MEIS, Ancol lebih baik. Begitu pula dengan urusan sound system. Mungkin karena dulu indoor jadi sound-nya lebih terkontrol, berbeda dengan GBK yang perlu treatment lebih canggih. Namun aura GNR yang otentik lebih terasa pada konser kedua ini. Hanya melihat Axl, Slash dan Duff berdiri berdekatan cukup bikin gue merinding. Inilah GNR yang sesungguhnya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar