Jumat, April 29, 2016

Iggy Pop “Post Pop Depression” – Rock Depresi dari Padang Pasir


Susah untuk menjadi obyektif menilai album terbaru Iggy Pop ini karena gue udah jatuh cinta ama ini orang. Ibaratnya kalo dia bikin album yang isinya cuma suara kentutnya pun akan gue bilang keren.

Post Pop Depression adalah album kolaborasi Iggy Pop dengan Josh Homme (Queens of the Stone Age), sebagai co-songwriter, produser, dan multi-instrumentalis. Dibantu Dean Fertita (Queens of the Stone Age) juga seorang multi-instrumentalis dan Matt Helders di departemen drum (Arctic Monkeys), makin menambah kredibilitas album ini.

Sang godfather of punk ketemu dengan stoner metal poster boy? Wajar kalo banyak (termasuk gue) yang berspekulasi kalo album ini bakal cadas; gabungan keliaran The Stooges dan sound berat Queens of the Stone Age. Namun lagi-lagi kita diingatkan kalo ini adalah album solo Iggy Pop dengan “I” besar; bukan album The Stooges, Queen of the Stone Age, apalagi Arctic Monkeys. Secara keseluruhan Post Pop Depression lebih mendekati “The Idiot” dan “Lust for Life” yang dibikin bareng alm. David Bowie: irama “medium rock” yang elegan dengan penulisan lirik yang sarkastik, getir dan pastinya penuh keliaran.

Jadi apakah peran Josh Homme begitu minimal, mendelep oleh superioritas Iggy Pop? Nggak juga. Album ini berhasil mendapatkan sound “padang pasir” yang gersang, terasing—sebuah eksplorasi yang merupakan teritori Josh Homme. Sedangkan anggota yang paling junior, Matt Helders, bermain apik menjaga “roh antik” dari setiap lagu.


Lagu pertama, “Break Into Your Heart” bisa dimaknai sebagai lagu cinta yang kalo orang lain mungkin bertutur dengan kata-kata klise, namun Iggy punya sudut pandang lain— “I’m gonna break into your heart/ I’m gonna crawl under your skin/ And follow till I see you begin”. Kemudian ada part yang tadinya oleh Homme ditulis “Take them all” dinyanyikan berulang kali, direvisi Iggy Pop jadi “Break them all/ Take them all/ Fake them all/ Steal them all/ Fail them all”. Kalo ini bicara tentang relasi Iggy Pop dengan orang-orang terdekatnya; kadang Iggy menipu, mencuri, dan mengecewakan mereka.


Lagu berikutnya, “Gardenia”, berkisah tentang stripper yang meninggalkan kesan mendalam bagi Iggy. Dimotori bassline Dean Fertita yang centil, lagu ini makin catchy dengan bagian reff dan bridge yang megah.

Track lain yang mencuri perhatian adalah “In The Lobby”. Part gitarnya unik, demikian pula permainan tom-tom Matt Helders bernuansa primitif di bagian reff. Iggy sendiri bernyanyi dengan nada rendah dan kadang berteriak seperti monster rawa.

Track berikutnya, “Sunday”, nggak kalah menarik. Bassline Dean yang berdisko, permainan tom-tom Matt yang unik, berpadu mesra dengan gitar Josh yang lincah. Suara penyanyi-penyanyi latar yang ngepop turut mempercantik, sampai akhirnya string section menutup lagu epik berdurasi 6 menit ini.

“Paraguay”, lagu terakhir dari Post Pop Depression adalah yang paling catchy dan merupakan nomor favorit gue. Dibuka dengan “pembacaan puisi”: “While animals they do/ Never wonder why/ Just do what they goddamn do”. Kemudian kita diajak bergoyang dengan irama yang asoy geboy. Liriknya basically mengatakan “Fuck you all, I’m off to Paraguay!” (Ikuut donk, bang Iggy :D).  

Iggy Pop, yang di tanggal 21 April kemaren menginjak usia 69 tahun, telah membuktikan kalo “creative juice”-nya belum habis di usia senja, seperti halnya David Bowie. Walau—kalo boleh dibandingin, Post Pop Depression ini nggak se-eksperimental Blackstar-nya Bowie. Tapi agaknya memang bukan itu yang dicari Iggy. Ia “hanya” menggunakan semua yang ia punya—suara baritonnya, penulisan lirik yang gelap, dibalut dalam musik “medium rock”, sambil mengambil nuansa yang sedikit beda, dalam hal ini “rock depresi dari padang pasir”.  Seandainya ini adalah album terakhir Iggy, he doesn’t go with a bang, but with a haunting whisper.

Sumber:
Mojo  
NME 
Allmusic

 

Tidak ada komentar: