Terus terang pertama kali gue tergerak untuk membaca Perahu Kertas - novelnya Dewi Lestari - adalah karena gue dengar ceritanya nyerempet2 dunia periklanan. Ya, gue tahu di dalamnya ada kisah cinta antara 2 tokoh, Kugy dan Keenan yang sama2 berkepribadian nyentrik. Tapi gue nggak nyangka juga kalo novel ini adalah sebuah roman sejati, lengkap dengan sengala ke-"menye-menyean"-nya.
Kekhawatiran akan kegalauan Perahu Kertas gue rasakan setelah membaca lebih dari 1/4 isi buku. Gue pengen berhenti, tapi entah kenapa ga bisa (damn you, Dee!). Gue udah terseret ke dalam adiksi yang bisa disamakan dengan betahnya anak2 4L4Y menonton sinetron. Ingatan gue langsung ke masa2 "guilty pleasure" di Bandung, yaitu mantengin VCD Meteor Garden bareng anak2 kontrakan, lalu "Kuch Kuch Hotta Hai", "Titanic", oops, i think i should stop now.
Buat Dee yang udah identik dengan "Supernova" yang berat, novel "Perahu Kertas" ini tampil sangat ngepop. Tapi bukan berarti picisan. Dengan kelihaiannya, Dee berhasil membuat roman yang cool dan classy. Walaupun, ada beberapa hal klise yang cukup mengganggu (entah disengaja atau tidak). Contohnya: Kebetulan2 yg terlalu sering, terlalu diumbarnya adegan menangis, tokoh yang tampil terlalu baik, dll.
Perahu Kertas emang udah lama dibuat Dee di masa2 awal menulis tapi belom terselesaikan (dulu judulnya "Kugy & Keenan"). Saat itu ia terpengaruh Katyusha, komik Popcorn, Candy Candy, yang merupakan cerita2 bersambung dengan tingkat adiksi tinggi. Dan Dee bercita-cita untuk menyamainya.
Jumlah halaman Perahu Kertas cukup banyak (400-an), tapi saking enaknya bisa gue habiskan dalam dua hari saja. Ya, Dee berhasil memasukkan candu berkadar luar biasa tinggi dalam bukunya. Selain cerita yang pada dasarnya baik, detail2 setting, penokohan, dan cara Dee merangkai kata dengan apik membuat pembaca susah meninggalkan buku ini. Mari kita berlayar dengan perahu kertas...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar