Sabtu, April 24, 2010

Perahu Kertas: How Pop Can You Go?

Terus terang pertama kali gue tergerak untuk membaca Perahu Kertas - novelnya Dewi Lestari - adalah karena gue dengar ceritanya nyerempet2 dunia periklanan. Ya, gue tahu di dalamnya ada kisah cinta antara 2 tokoh, Kugy dan Keenan yang sama2 berkepribadian nyentrik. Tapi gue nggak nyangka juga kalo novel ini adalah sebuah roman sejati, lengkap dengan sengala ke-"menye-menyean"-nya.

Kekhawatiran akan kegalauan Perahu Kertas gue rasakan setelah membaca lebih dari 1/4 isi buku. Gue pengen berhenti, tapi entah kenapa ga bisa (damn you, Dee!). Gue udah terseret ke dalam adiksi yang bisa disamakan dengan betahnya anak2 4L4Y menonton sinetron. Ingatan gue langsung ke masa2 "guilty pleasure" di Bandung, yaitu mantengin VCD Meteor Garden bareng anak2 kontrakan, lalu "Kuch Kuch Hotta Hai", "Titanic", oops, i think i should stop now.


Misfits Singalong Concert

Punk emang sebuah konsep yang absurd. Lihatlah pemakaman Malcolm McLaren yang gokil. Sayang gue ga bisa ke sana. Tapi di konser Misfits tanggal 10 April yang lalu, gue hadir menjadi saksi bagaimana Punk sekali lagi berhasil menjungkirbalikkan sebuah kelaziman, kali ini dalam hal standar konser musik.

Udah diketahui umum bahwa konser musik Punk pasti sound-nya ancur. Jadi ga usah protes kalo lo ga bisa bedain nada2 yang dimainkan Misfits malam itu. Tapi yang bikin takjub adalah reaksi orang2 terhadap "sampah" itu: mereka (termasuk gue) berjoget, moshing, dan yang terpenting-ber-singalong sepanjang konser! Intinya, gemuruh alias noise yang berasal dari instrumen2 musik Misfits ga cukup untuk mencegah penonton bersuka ria dalam persaudaraan Punk!